Kamis, 23 April 2009

Daftar judul skripsi keperawatan

DAFTAR JUDUL SKRIPSI KEPERAWATAN
1
Hubungan Antara Jenjang Pendidikandan Tingkat Kecemasan Keluargayang Salah Satu Anaknya Mengalami Autisme
2
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Perawat Terhadap Pelaksanaan Standar Asuhan Keperawatan
3
Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecemasan Klien Dengan Kanker Payudara Dalam Menghadapi Radioterapi.
4
Analisa Hubungan Komunikasi Verbal Dan Non Verbal Perawat Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien
5
Analisa Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi
6
Faktor-Faktor Resiko Terjadinya Osteoporosis
7
Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pencegahan Depresi Pada Lansia
8
Manfaat Pemberian Kompres Dingin (Es) Dalam Menurunkan Rasa Nyeri Pada Pasien Apendisitis
9
Study Coss Sectional Peran Perawat Dalam Perencanaan Asuhan Keperawatan Klien Hypertensi
10
Analisa Peran Perawat Terhadap Pasien Gawat Darurat Yang Akan Dilakukan Tindakan Pembedahan
11
Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat Dalam Intervensi Keperawatan Pada Bayi Resiko Tinggi Hipotermi
12
Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat Terhadap Perilaku Perawat Dalam Komunikasi terapeutik pada Klien Skizofrenia
13
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan Kejadian Kurang Energi Protein Padaanak Usia 2 Sampai 5 Tahun
14

Peran Serta Kader Posyandu Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Balita Melalui Penyuluhan Kesehatan Di Posyandu
15

Analisis faktor yang berhubungan dengan perilaku asertif perawat di instalasi rawat inap
efektivitas perawatan perianal dengan baby oil terhadap pencegahan diaper dermatitis pada neonatus
16
efektivitas perawatan perianal dengan baby oil terhadap pencegahan kerusakan integritas kulit pada pasien diare

17
hubungan pengetahuan perawat dan perilaku pencegahan infeksi nosokomial pada pasien paska bedah di ruang
18
hubungan antara pengetahuan dengan sikap perawat dalam meminimalkan stress akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah
19
Hubungan Pengetahuan dukungan sosial keluarga terhadap Tingkat Depresi Klien Kanker Serviks
20
pengaruh perawatan luka bersih menggunakansodium klorida 0,9 % dan povidine iodine 10 % terhadap percepatan penyembuhan luka pada pasien pasca secsio caesar
21
pengaruh pemijatan pada bayi BBLR terhadap peningkatan berat badan DI RUANG NEONARTUS
22
Pengaruh Teknik Effleurage Oleh Petugas Kesehatan Terhadap Penurunan Persepsi Nyeri Kala I Fase Aktif Pada Ibu Inpartu Di Ruang Bersalin
23
pengaruh penyuluhan pre operasi terhadap pelaksanaan mobilisasi post operasi pada pasien pembedahan abdomen
25
pengaruh pendidikan kesehatan tentang penularan hiv/aids terhadap stigma masyarakat pada orang dengan hiv/aids (odha)
26
hubungan stimulasi orang tua dengan kemampuan motorik KASAR anak toddler usia 12–18 bulan
27
hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang kehamilan dengan kepatuhan pelaksanaan antenatal care pada ibu primigravida
28
hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang nutrisi dengan kejadian anemia selama kehamilan
29
hubungan antara kinerja petugas kesehatan posyandu dengan tingkat kepuasan ibu balita pengguna posyandu
30
efektivitas pemberian kompres hangat daerah dinding perut (abdomen) dan daerah vena besar terhadap penurunan suhu tubuh pada klien febris
31
analisis pengaruh kepuasan pasien terhadap minat menggunakan jasa pelayanan keperawatan
32
efektifitas perawatan luka dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di ruang perinatologi

Rabu, 01 April 2009

askep striktur uretra


Senin, 30 Maret 2009

askep carsinoma nasofaring

PENDAHULUAN

Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit.
Namun penanggulangannya sampai saat ini masih merupakan masalah. Yang menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk datang berobat. Sebagian besar pasien datang berobat ketika sudah dalam stadium yang lanjut, dimana tumor sudah meluas kejaringan sekitarnya. Hal ini merupakan penyulit terbesar untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.
Letak Nasofaring yang tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang mengakibatkan diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian.
Seperti keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan, sehingga pencegahannya sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha kearah diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan kewaspadaan para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejal dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor ganas di Nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di telinga.
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokalokasi permulaan tumbuh TGN, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel.
Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi menbuka tuba, sehingga fungsi tuba tergangu dan mengakibatkan gangguan pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel.
Pada stadium awal penyakit, pengobatan dengan penyinaran saja sudah dapat memberikan angka penyembuhan yang cukup tinggi. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan pengobatan tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Pada beberapa tempat terbapat timbunan jaringan Limfosid. Timbunan jaringan/ Limfosid yang terletak di bagian belakang atas Nasofaring, Disebut Tonsalia Faringea dari Luschka atau lebih dikenal dengan Adenoid.
Di sekitar tuba Eustachius timbunan jaringan Limfosid ini disebut Tonsila Tubalis dari Gerlach.
Foramen Laserum terletak 1½-2 senti meter tepat kranial dari fosa rosemullar, sehingga dengan mudah tumor dapat meluas melalui foramen ini kedalam intrakanial.

KARSINOMA NASOFARING



ANATOMI NASOFARING
NASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak.
Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batasnya :
- Dinding depan : Koane
- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi
Vertebra Sevikalis I dan II.
- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding samping ini berhubungan dengan
ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.
Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu.
Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik.
Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropi dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.

ETIOLOGI
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang mendiator yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Karsinoma Nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland . juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini.Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak kena.
5. Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

HISTOLOGI NASOFARING
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut ” Limfoepitel ”.
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”
2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium “.
3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ”.
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.
60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “ Stratified Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh

epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

KLASIFIKASI
WHO 1978
1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi
2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi
Working formulation
1. Karsinoma Tipe A : anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan menegah.
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk membandingkan respon radiasi pada karsinoma nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher, respons radiasi paling baik pada karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada tipe A dan paling kurang baik pada karsinoma sel skuamosa berkeratin.

GEJALA DINI
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala Hidung
1. Mimisan
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
2. Sumbatan hidung
Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
GEJALA LANJUT
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan pemyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sek tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, nahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.

3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

STADIUM
Stadium T = Tumor
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992).
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 - Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring .
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
TX Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Nodule
N – Pembesaran kelenjar getah bening regional .
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan .
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan .
N3 - Terdapat pembesaran , baik homolateral ,kontralateral ,maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar .
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .

Stadium I :
T1 dan N0 dan N0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- postofor lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa serebia media.
2. pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring.
Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat
asimetri dari saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.

3 scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metatasis
jauh.
4. pemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap
virus Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5. pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring
belum jelas dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat
metatasisi karsinoma nasifaring.
6. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metatasis.

DIAGNOSIS
Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-scan daerah kepada dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.
Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan Biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melaui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ). Cunam biopsi dimasukkan melalui ronga hidung menyulusuri konka media de nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut diterik keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter yang di hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian denan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumoir melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

PENGOBATAN
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang seius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi.
daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah.
Arah penyinaran dri lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan.
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih.
Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medullaspinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

Dosis radiasi
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”).
Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”.

AKIBAT- AKIBAT RADIASI PADA PENDENGARAN
Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel. Hal ini terjadi akibat pendesakan tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan terganggunya fungsi tuba.
Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah jarang sekali terjadi .
Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan gangguan-gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran akan membaik kembali.
Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga menurunkan pendengaran, baik bertipe konduksi maupun persepsi.
Radiasi dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi, karena :
a. Terjadi dilatasi pembuluh darah mukosa disertai edema pada tuba
Eustachius yang mengakibatkan penutupan tuba.
b. Terjadi nekrosis tulang-tulang pendengaran (“radionecrosis”).
Perubahan konduksi setelah radiasi ini disebabkan 3 hal :
a. menempelnya sekret kental pada dinding lateral nasofaring.
b. Atresia dari muara tuba.
c. Fibrosis pada ruang fasia sekitar otot levator palatini.
Radiasi dengan “ cobalt-60 “ pada penderita tumor ganas nasofaring, dosis yang digunakan sebesar 4.000-6.000 rad.didapatnya bahwa perubahan ambang pendengaran tidak begitu besar. Peningkatan pendengaran rata-rata 10 desibel dan penurunan pendengaran rata 14 desibel.
Penurunan pendengaran yang bersifat konduksi yasng disebabkan terjadinya “ radiation otitis media “ dan “ radionecrosis ”
“ Radiation otitis media “ ini terjadi karena ada gangguan dari fungsi tuba yang akan menimbulkan efusi cairan pada rongga telinga tengah. Sedangkan “ Radionecrosis ossiclesa “ disebabkan terjadinya perubahan veskuler berupa degenerasi dan pembengkakan jaringan kolagen dan otot polos dinding pembuluh darah kecil yang berakibat dinding pembuluh darah tersebut menyempit atau menutup lumen sehingga terbentuk trombus yang akan mengganggu suplai darah melalui “ end arteri “ ke tulang-tulang pendengaran.
Bila pada penderita dengan tuli persepsi dan ketulian ini bertambah berat, ini disebabkan adanya penambahan komponen-komponen konduksi akibat dari terjadinya problem ditelinga tengah karena radiasi.
Pada umumnya gangguan persepsi baru terjadi bila dosis radiasi yang tingi dan dalam waktu yang lama. Hal ini akibat terjadinya perubahan-perubahan pada koklea. Sedangkan pada dosis yang rendah dikatakan bahwa koklea relatif radioresisten.

PROGNOSIS
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

Radioterapi
Syarat-sarat bagi penderita yang akan di radio terapi :
• Keadaan umum baik
• Hb> 10 g%
• Leukosit > 3000/mm3
• Trombosit > 90.000 mm3

Indikasi Radioterapi
• Radikal : Tumor satadium permulaan yang belum infiltrasi ke jaringan sekitarnya dan belum terdapat penyebaran
• Paliatif : Tumor stadium lanjut : Mengurangi rasa nyeri dan keluhan
• Post Operatif :
• Pada tumor brd/lymphatic field of drainage
• Untuk menghancurkan sel-sel ganas

Tujuan pre operatif terapi
• Mencegah metastasis ke perifer
• Mengecilkan volume tumor sehingga menjadi operable
• Perdarahan berkurang karena vaskularisasi tumor berkurang

Tujuan post operasi
• Mengatasi sisa sel Ca

Efek radiasi terhadap beberapa jaringan
1. Kulit
• Dermatitis akut : Terkelupasnya selaput lendir fibrinous, kulit hitam merah dan edema. Epilasi permanen dengan dekstruksi epidermis, ulserasi, nyeri.
• Dermatitis Kronis : Kulit kering, hipertrofi/keratosis, veruka vulgaris. Ca Kulit.
• Late Dermatitis Accute effect : pigmintasi , atrofi, talengiektasi, ulserasi dan epitelioma.

2. Sistem Hemopoetik dan darah
• Efek langsung pada sel darah / pada jaringan hemopoitik
• Urutan sensitifikasi : Limfosit ? granulosit ? trombosit ? eritrosit

3. Alat pencernaan
• Reaksi eritematus pada selaput lendir yang nyeri
• Disfagia
• Reaksi fibrinous pada selaput lendir dengan nyeri yang lebih hebat
• Nausea, muntah, diare, ulserasi dan perforasi (Dosis di tingkatkan)

4. Alat Kelamin
• Sterilitas
• Kelainan kelamin
• Mutasi gen

5. Mata
• Konjungtivitis dan keratitis
• Katarak

6. Paru – paru
• Batuk dan nyeri dada
• Sesak nafas, fibrosis paru

7. Tulang
• Gangguan pembentukan tulang
• Osteoporosis
• Patah Tulang (dosis ditambah)

8. Syaraf
• Urat saraf menjadi kurang sensitive terhadap stimulus
• Mielitis
• Degenerasi jaringan otak

9. Penyakit radiasi
• Demam
• Rasa lemah
• Muntah dan diare
• Nausea
• Nyeri kepala
• Gatal
• Nafsu makan menurun

Macam-macam alat radiasi
1. External radiasi
• UKG
Untuk pemanasan pada sinusitis, salpingitis
• Dermatofan
Hemangioma, basalioma
• Stabilipan
Tumor yang lebih dalam (Squamosa cell Ca)
• Clinac (Computer Linear Accelerator) yang dipakai adalah unsur elektronya.
Untuk tumor-tumor yang superficial (rhabdomiosarkoma)

2. Internal radiasi
• Afterloadaing (HDR/High Dose rate) Menggunakan unsur Cesium 137. Dipakai untuk Ca Serviks, Ca bronkus, Ca Nasofaring
• Clinac, dipakai unsur fotonya untuk tumor-tumor yang lebih dalam.

Perbedaan radioterapi
Clinac 18 Cobalt 60 Radioaktif
• Dihasilkan dengan linear accelerator dari mesin dengan tenaga listrik
• Sinar yang digunakan sinar X
• Energi yang dihasilkan 4-10 MsV
• Tidak terdapat waktu paruh
• Surface Source Distance : 100 cm
• Dosis maksimum 100% pada kedalaman 2,5 cm
• Dari segi elektroniknya lebih rumit dan mahal • Sumbernya radio aktif
• Sinar ?
• 1,23 volt
• Energi akan bertambah lemah sesuai waktu paruhnya
• SSD 80cm
• Daya tembus ½ cm dibawah permukaan
• Tidak terlalu rumit dibanding Clinac • Dibuat dalam reaktor nuklir
• Dengan membordair unsurnya sehingga menjadi radioaktif
• Untuk terapi superficial

Sinar – sinar yang dipakai untuk radio terapi
• Sinar X dan sinar ?
• Sinar ? (Elektron)
• Sinar ? (terbatas)
• Sinar Neutron (untuk pengobatan tumor otak)
• Sinar proton (untuk menghancurkan kelenjar hipofisa)

Teknik Penyinaran
• Singel field (satu arah) : AP, PA, Lateral, Medial Oblique
• Plan pararel/pararel opposing field (dua arah) : Mis Ca Nasofaring
• Multified
• Tiga arah : Kepala muka tengah, naso faring, sinus paranasal.
• Empat arah : Cerviks
• Lima arah : Ca Buli-buli
• Rotasi
• Full rotasi 360 derajat : Tumor hipofisa (Sella tursica)
• Semi rotasi

Terapi medicamentosa
Sitostatika :
endoxan : 200 mg 2-3 x /mgg IV s/d 10 x, Dosis tinggi 1 gram/m2 luar tubuh 1 bulan/x

KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan penglihatan dobel. Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan saraf otak.
Pada stadium dini pengobatan yang diberikan ialah penyinaran, dan hasilnya baik. Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan segeralah memeriksaan diri ke dokter.
Diagnosis dini harus secepatnya ditegakkan dengan biopsi serta pemeriksaan patologi, supaya pengobatan tidak terlambat.
Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat ditekan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7 1996 ; 11-16
2. Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2000 : 146-150
3. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1989.
4. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Dalam : Bahaya Radiasi dan Pencegahan. Radiologi Diagnostik, FKUI, 1985 : 25-28.
5 Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20